Tradisi Mekare-kare atau dikenal dengan Mageret Pandan atau Perang Pandan hanya ada di desa
Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem – Bali. Budaya dan
tradisi unik tersebut cukup dikenal pada kalangan wisatawan. Sehingga
menjadikan desa Tenganan sebagai tujuan wisata yang cukup diminati,
selain juga karena kain Geringsing yang menjadi produksi tenun
tradisonal dengan tekhnik dobel ikat yang cukup terkenal pula.
Desa Tenganan sendiri merupakan desa tua di Bali yang dikenal dengan
desa Bali Aga, atau penduduk asli Bali yang tidak terpengaruh budaya
luar, terutama saat pengaruh kerajaan Majapahit masuk ke pulau ini.
Termasuk juga budaya dan tradisinya yang unik seperti salah satunya
Mekare-kare menjadikannya sebuah desa yang berbeda. Jika kebetulan anda
wisata ke Bali dan mengunjungi kawasan Timur yaitu kabupaten Karangasem.
Dan ingin mengenal lebih dekat budaya lokal, cobalah bertandang ke desa
Tenganan, apalagi kebetulan digelar tradisi perang pandan tersebut, ini
akan menjadi sebuah pengalaman berharga.
Tradisi Mekare-kare atau perang pandan di Desa Tenganan
Dikenal juga dengan perang pandan, tradisi Mekare-kare ini digelar
bertujuan untuk sebuah persembahan untuk menghormati Dewa Indra yang
dipercaya sebagai Dewa Perang dan juga untuk menghormati para leluhur.
Ritual ini digelar sekali dalam setahun yaitu pada bulan Juni. Jadi
kalau anda ingin menyaksikan tradisi Mekare-kare atau perang pandan ini
pada bulan Juni, tanggalnya akan berbeda-beda berdasarkan
penanggalan/kalender Tenganan, bertepatan pada upacara Ngusaba Kapat /
Sasih Sembah di depan halaman Bale Agung, tapi kalau anda ingin hanya
mengunjungi desa wisata tua ini dan mengenal lebih dekat tentang desa
Bali Aga dan tekhnik tenun dobel ikat Peringsingan
Warga desa Tenganan menganut kepercayaan Hindu seperti mayoritas
warga Bali lainnya, namun demikian warga desa Tenganan memiliki
pemahaman kepercayaan yang sedikit berbeda dengan warga Hindu Bali pada
umumnya, mereka tidak mengenal Kasta ataupun warna, juga meyakini Dewa
Indra adalah dewa tertinggi dan desa Tenganan sendiri sesuai keyakinan
warga adalah hadiah dari Dewa Indra, sementara pada umat Hindu lainnya
meyakini adanya dewa Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa sebagai dewa
tertinggi dan sebagai manifestasi Tuhan yang bertugas menciptakan,
memelihara dan melebur alam semesta.
Tradisi Mekare-kare atau upacara Perang Pandan ini, merupakan
rangkaian upacara keagamaan di desa Tenganan saat upacara Sasih Sembah
digelar, upacara Sasih Sembah ini adalah upacara terbesar dan hanya
sekali dalam setahun, sedangkan prosesi Mekare-kare dilangsungkan selama
2 hari di halaman Balai Desa dan dimulai sekitar jam 2 sore. Para
perempuan mengenakan pakaian khas Tenganan dengan kain tenun
Pegeringsingan, sedangkan para kaum prianya mengenakan pakaian adat
madya (sarung, selendang, ikat kepala) tanpa baju atau bertelanjang
dada.
Dalam tradisi Mekare-kare alat saat perang digunakan pandan berduri
yang diikat disimbolkan sebagai sebuah gada dan dilengkapi juga dengan
perisai dari rotan yang berfungsi sebagai tameng menangkis serangan
lawan, perang ini hanya diikuti oleh kaum pria yang sudah mulai
menginjak remaja. Sebelum acara puncak dimulai peserta mengelilingi desa
dengan tujuan memohon keselamatan.
Tradisi Mekare-kare atau saat perang mereka berhadap-hadapan satu
lawan satu dengan segepok daun pandan berduri pada tangan kanan dan
perisai pada tangan kiri dan seorang wasit atau disebut “Penengah”
diantara keduanya. Setelah Penengah memberi aba-aba untuk perang
dimulai, maka kedua peserta yang perang tanding di atas panggung
tersebut saling serang, kemudian saling rangkul sambil memukulkan pandan
berduri dan menggosokkan/ menggeretkan ke punggung lawan, untuk itu
pula disebut upacara Mageret Pandan. Penengah dan dibantu peserta lain
siap memisahkan mereka. Bisa dibayangkan bagaimana duri-duri yang
menancap di kulit, ini benar-benar perang adu nyali saat tradisi
Mekare-kare berlangsung.
Dalam perang tanding saat tradisi Mekare-kare atau Mageret Pandan ini
hanya berlangsung sekitar 1 menit saja, diiringi dengan gamelan yang
memacu semangat, mereka melakukan secara bergilir sehingga semua peserta
bisa ambil bagian dan prosesi tersebut, berlangsung sekitar 3 jam.
Selesai prosesi perang pandan ini, luka gores yang kebanyakan di
punggung diobati oleh ramuan tradional dari bahan kunyit dan dikenal
begitu ampuh menyembuhkan luka. Setelah perang dalam tradisi Mekare-kare
selesai tidak ada dendam diantara mereka, meski mereka sempat saling
menyakiti, itu adalah sebuah rangkaian upacara persembahan yang
dilakukan dengan tulus iklas.
Sekilas sejarah tentang desa Tenganan dan tradisi Mekare-kare
Konon diceritakan, seorang raja lalim memerintah kerajaan Beahulu
yang bernama raja Maya Denawa, dia melarang menyembah Tuhan dan
menjadikan dirinya sebagai seorang Dewa untuk disembah, termasuk
pelarangan melakuan upacara keagamaan kepada Dewa. Kemudian oleh Dewa
kahyangan diutuslah Dewa Indra untuk menyadarkan Maya Denawa, usaha itu
tidak berhasil dan dilakukan dengan kekerasan, akhirnya terjadi perang
dan Maya Denawa bisa dikalahkan. Pada rangkaian cerita pertempuran
tersebut sebagai latar belakang sejarah Tirta Pura Tirta Empul di
Tampaksiring yang juga sebagai objek wisata di Bali, Goa Maya Denawa dan pancoran Cetik.
Karena wilayah kerajaan dianggap leteh/ kotor, maka setelah tewasnya
sang raja lalim dibutuhkan upacara penyucian dengan kurban seekor kuda.
Terpilihlah seekor kuda putih yang bernama Oncesrawa, kuda ini milik
dewa Indra ini dianggap sakti diyakini muncul dari laut dengan ekornya
yang panjang menyentuh tanah. Tahu dirinya akan menjadi kurban, maka
kuda ini melarikan diri sampai ke wilayah Karangasem yang sekarang
bernama Tenganan.
Dewa Indra menugaskan para prajurit atau Wong Peneges untuk mencari
tahu keberadaan kuda putih tersebut. Dan akhirnya kuda itu ditemukan
telah mati dan menjadi bangkai di wilayah Tenganan ini. Kemudian Dewa
Indra bersabda pada Wong Peneges untuk menganugerahkan atau
menghadiahkan tanah seluas bau bangkai kuda bisa tercium. Ternyata para
prajurit atau Wong Peneges ini pintar juga, mereka memotong-motong
bangkai kuda mebawanya sejauh yang mereka inginkan sehingga hadiah
mereka semakin banyak/ luas. Tahu hal ini Dewa Indra membagi dirinya
menjadi 6, dan memberi tanda pada Wong Peneges bahwa wilayahnya sudah
cukup.
Itulah sebabnya tradisi Mekare-kare tetap dilaksanakan oleh warga
sampai saat ini, sebagi persembahan dan penghormatan kepada Dewa Indra.
Tradisi dan Budaya unik di Bali ini menjadi hal penting jika anda ingin
mengenal budaya Bali lebih dekat, tidak hanya sekedar tour di Bali mengunjungi objek wisata saja tetapi budaya yang tersimpan juga menjadi hal yang sangat penting.