Senin, 26 Februari 2018

Tradisi Perang Pandan atau Mageret Pandan di Desa Tenganan Bali

Tradisi Mekare-kare atau dikenal dengan Mageret Pandan atau Perang Pandan hanya ada di desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem – Bali. Budaya dan tradisi unik tersebut cukup dikenal pada kalangan wisatawan. Sehingga menjadikan desa Tenganan sebagai tujuan wisata yang cukup diminati, selain juga karena kain Geringsing yang menjadi produksi tenun tradisonal dengan tekhnik dobel ikat yang cukup terkenal pula.
Desa Tenganan sendiri merupakan desa tua di Bali yang dikenal dengan desa Bali Aga, atau penduduk asli Bali yang tidak terpengaruh budaya luar, terutama saat pengaruh kerajaan Majapahit masuk ke pulau ini. Termasuk juga budaya dan tradisinya yang unik seperti salah satunya Mekare-kare menjadikannya sebuah desa yang berbeda. Jika kebetulan anda wisata ke Bali dan mengunjungi kawasan Timur yaitu kabupaten Karangasem. Dan ingin mengenal lebih dekat budaya lokal, cobalah bertandang ke desa Tenganan, apalagi kebetulan digelar tradisi perang pandan tersebut, ini akan menjadi sebuah pengalaman berharga.
 
Tradisi Mekare-kare atau perang pandan di Desa Tenganan
Dikenal juga dengan perang pandan, tradisi Mekare-kare ini digelar bertujuan untuk sebuah persembahan untuk menghormati Dewa Indra yang dipercaya sebagai Dewa Perang dan juga untuk menghormati para leluhur. Ritual ini digelar sekali dalam setahun yaitu pada bulan Juni. Jadi kalau anda ingin menyaksikan tradisi Mekare-kare atau perang pandan ini pada bulan Juni, tanggalnya akan berbeda-beda berdasarkan penanggalan/kalender Tenganan, bertepatan pada upacara Ngusaba Kapat / Sasih Sembah di depan halaman Bale Agung, tapi kalau anda ingin hanya mengunjungi desa wisata tua ini dan mengenal lebih dekat tentang desa Bali Aga dan tekhnik tenun dobel ikat Peringsingan
 
Warga desa Tenganan menganut kepercayaan Hindu seperti mayoritas warga Bali lainnya, namun demikian warga desa Tenganan memiliki pemahaman kepercayaan yang sedikit berbeda dengan warga Hindu Bali pada umumnya, mereka tidak mengenal Kasta ataupun warna, juga meyakini Dewa Indra adalah dewa tertinggi dan desa Tenganan sendiri sesuai keyakinan warga adalah hadiah dari Dewa Indra, sementara pada umat Hindu lainnya meyakini adanya dewa Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa sebagai dewa tertinggi dan sebagai manifestasi Tuhan yang bertugas menciptakan, memelihara dan melebur alam semesta.
 
Tradisi Mekare-kare atau upacara Perang Pandan ini, merupakan rangkaian upacara keagamaan di desa Tenganan saat upacara Sasih Sembah digelar, upacara Sasih Sembah ini adalah upacara terbesar dan hanya sekali dalam setahun, sedangkan prosesi Mekare-kare dilangsungkan selama 2 hari di halaman Balai Desa dan dimulai sekitar jam 2 sore. Para perempuan mengenakan pakaian khas Tenganan dengan kain tenun Pegeringsingan, sedangkan para kaum prianya mengenakan pakaian adat madya (sarung, selendang, ikat kepala) tanpa baju atau bertelanjang dada.
Dalam tradisi Mekare-kare alat saat perang digunakan pandan berduri yang diikat disimbolkan sebagai sebuah gada dan dilengkapi juga dengan perisai dari rotan yang berfungsi sebagai tameng menangkis serangan lawan, perang ini hanya diikuti oleh kaum pria yang sudah mulai menginjak remaja. Sebelum acara puncak dimulai peserta mengelilingi desa dengan tujuan memohon keselamatan.
Tradisi Mekare-kare atau saat perang mereka berhadap-hadapan satu lawan satu dengan segepok daun pandan berduri pada tangan kanan dan perisai pada tangan kiri dan seorang wasit atau disebut “Penengah” diantara keduanya. Setelah Penengah memberi aba-aba untuk perang dimulai, maka kedua peserta yang perang tanding di atas panggung tersebut saling serang, kemudian saling rangkul sambil memukulkan pandan berduri dan menggosokkan/ menggeretkan ke punggung lawan, untuk itu pula disebut upacara Mageret Pandan. Penengah dan dibantu peserta lain siap memisahkan mereka. Bisa dibayangkan bagaimana duri-duri yang menancap di kulit, ini benar-benar perang adu nyali saat tradisi Mekare-kare berlangsung.
Dalam perang tanding saat tradisi Mekare-kare atau Mageret Pandan ini hanya berlangsung sekitar 1 menit saja, diiringi dengan gamelan yang memacu semangat, mereka melakukan secara bergilir sehingga semua peserta bisa ambil bagian dan prosesi tersebut, berlangsung sekitar 3 jam. Selesai prosesi perang pandan ini, luka gores yang kebanyakan di punggung diobati oleh ramuan tradional dari bahan kunyit dan dikenal begitu ampuh menyembuhkan luka. Setelah perang dalam tradisi Mekare-kare selesai tidak ada dendam diantara mereka, meski mereka sempat saling menyakiti, itu adalah sebuah rangkaian upacara persembahan yang dilakukan dengan tulus iklas.
 
Sekilas sejarah tentang desa Tenganan dan tradisi Mekare-kare
Konon diceritakan, seorang raja lalim memerintah kerajaan Beahulu yang bernama raja Maya Denawa, dia melarang menyembah Tuhan dan menjadikan dirinya sebagai seorang Dewa untuk disembah, termasuk pelarangan melakuan upacara keagamaan kepada Dewa. Kemudian oleh Dewa kahyangan diutuslah Dewa Indra untuk menyadarkan Maya Denawa, usaha itu tidak berhasil dan dilakukan dengan kekerasan, akhirnya terjadi perang dan Maya Denawa bisa dikalahkan. Pada rangkaian cerita pertempuran tersebut sebagai latar belakang sejarah Tirta Pura Tirta Empul di Tampaksiring yang juga sebagai objek wisata di Bali, Goa Maya Denawa dan pancoran Cetik.
Karena wilayah kerajaan dianggap leteh/ kotor, maka setelah tewasnya sang raja lalim dibutuhkan upacara penyucian dengan kurban seekor kuda. Terpilihlah seekor kuda putih yang bernama Oncesrawa, kuda ini milik dewa Indra ini dianggap sakti diyakini muncul dari laut dengan ekornya yang panjang menyentuh tanah. Tahu dirinya akan menjadi kurban, maka kuda ini melarikan diri sampai ke wilayah Karangasem yang sekarang bernama Tenganan.
Dewa Indra menugaskan para prajurit atau Wong Peneges untuk mencari tahu keberadaan kuda putih tersebut. Dan akhirnya kuda itu ditemukan telah mati dan menjadi bangkai di wilayah Tenganan ini. Kemudian Dewa Indra bersabda pada Wong Peneges untuk menganugerahkan atau menghadiahkan tanah seluas bau bangkai kuda bisa tercium. Ternyata para prajurit atau Wong Peneges ini pintar juga, mereka memotong-motong bangkai kuda mebawanya sejauh yang mereka inginkan sehingga hadiah mereka semakin banyak/ luas. Tahu hal ini Dewa Indra membagi dirinya menjadi 6, dan memberi tanda pada Wong Peneges bahwa wilayahnya sudah cukup.
Itulah sebabnya tradisi Mekare-kare tetap dilaksanakan oleh warga sampai saat ini, sebagi persembahan dan penghormatan kepada Dewa Indra. Tradisi dan Budaya unik di Bali ini menjadi hal penting jika anda ingin mengenal budaya Bali lebih dekat, tidak hanya sekedar tour di Bali mengunjungi objek wisata saja tetapi budaya yang tersimpan juga menjadi hal yang sangat penting.

Selasa, 13 Februari 2018

Bali Pulina, wisata minum kopi berbonus pemandangan sawah yang indah

Kira-kira lima menit dari taman wisata sawah berundak di Ceking, Tegalalang, di sebelah kanan jalan terdapat Bali Pulina. Ini adalah kebun agrowisata kopi dan cokelat khas Bali. Bali Pulina terletak di Desa Banjar Pujung Kelod, Tegalalang, Gianyar, Bali—atau kira-kira 8 kilometer dari Ubud.
Di sana, pengunjung disuguhi proses pembuatan kopi luak dalam suasana alami khas pedesaan. Begitu masuk, pengunjung akan melihat ada pohon kopi dan pohon buah cokelat yang berwarna hijau dan cokelat kemerahan tengah menggantung. Begitu datang, ada pemandu yang menunjukkan arah sekaligus menjelaskan cara pembuatan kopi luak secara tradisional. Mulai dari proses dimakannya biji kopi oleh luwak (penghasil kopi luak), penjemuran yang memakan waktu hingga tiga hari, pemasakan, hingga penumbukan biji kopi menjadi butiran-butiran halus siap saji.
Yang istimewa, ada sebuah dapur kecil dengan seorang nenek sedang menyangrai biji kopi dengan api dari kayu bakar. Di sampingnya ada alat penumbuk kopi dan penyaring. Hal itu menjadi pengetahuan baru, terutama bagi turis-turis asing yang datang berkunjung.Buktinya, mereka antusias bertanya mengenai proses pemasakan biji kopi. Bahkan, ada pula yang mencoba menumbuk biji kopi hingga menjadi butiran halus.
Setelah mendapat penjelasan mengenai proses pembuatan secangkir kopi, pengunjung dipersilakan turun ke area warung. Ini adalah sebuah tempat lapang di mana pengunjung bisa minum kopi sambil menikmati pemandangan alam yang indah.
Pemandangan persawahan khas Bali tengah menghampar. Sejauh mata memandang hanya warna hijau pepohonan yang bersatu dengan birunya langit dan putihnya awan. Sangat bagus sekali untuk berfoto di sini.
Pelayan menyajikan bermacam-macam minuman untuk dinikmati. Ada tujuh cangkir keramik kecil (sloki) dalam sebuah wadah cembung yang panjang sebagai tatakan. Cangkir-cangkir itu berisi beberapa macam teh, cokelat, kopi ginseng, kopi cokelat, kopi vanilla, dan kopi Bali.
Kopi luak tidak termasuk dalam tester. Untuk mencicipi kopi luak dalam cangkir berukuran normal, setiap pengunjung harus membayar Rp 50.000. Namun, minuman lainnya gratis.





Di tengah alam indah dan menawan, minum kopi tentu jadi lebih asyik. Seusai minum kopi, pengunjung bisa berswafoto (selfie). Ada beberapa titik yang disediakan. Di seberang, ada sawah berundak yang indahnya mirip dengan sawah di Ceking. Ada juga pohon nyiur melambai. Suasananya secara keseluruhan menyenangkan, tapi kurang "wah". Apalagi di siang hari sangat panas dan sinar matahari menyebabkan foto menjadi buram.
Sementara untuk anak-anak, ada arena untuk bermain angklung, tapi sayang kurang terawat. Maka itu, hiburan satu-satunya di sini adalah mengambil foto dari segala sudut. Andalannya adalah sebuah panggung kayu —disebut Kembang Kopi Stage— yang terbuat dari kayu yang dipancangkan ke lembah.
Panggung ini cukup luas, lancip, dan luas seperti dek perahu. Dari panggung ini, pengunjung bisa puas menoleh ke bawah lembah atau seberang sawah dan bukit yang hijau.

Mungkin Bali Pulina akan menjadi salah satu refrensi  tujuan berlibur anda